Selasa, 4 Disember 2012


NIM:     111209673
Contoh Putusan
01/31/2012
dari PAK HAMID SARONG

IMPLIKASI HUKUM TERHADAP HAK MAWARIS DARI SEORANG ANAK HASIL PERNIKAHAN SIRI
Dijadikan sebagai Bahan Diskusi Ilmiah Para Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi dan Hakim Tingkat Pertama, Panitera Sekretaris Pada Pengadilan Tinggi Agama dan Pengadilan Agama se-Wilayah Pengadilan Tinggi Agama Bandar Lampung
Disusun Oleh :
Tim Hakim PA Kalianda
Kalianda, Oktober 2010

A. Pendahuluan
Pelaksanaan suatu perkawinan  siri dapat menjadi sumber kebahagiaan keluarga, namun demikian perkawinan dapat menjadi sumber konflik di lingkungan keluarga, baik hukum keperdataan mengenai perceraian, warisan harta kekayaan maupun konflik kepidanaan pelanggarana ganda mengenai suami kawin lagi tanpa izin isteri pertama.
Terdapat beberapa pengertian dari nikah siri terkait dengan praktik yang terjadi di masyarakat :
Pengertian Pertama:
Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan secara sembunyi–sembunyi  tanpa wali dan saksi. Inilah pengertian yang pernah diungkap oleh Imam Syafi’i di dalam kitab Al Umm  5/ 23,
أخبرنا مَالِكٌ عن أبي الزُّبَيْرِ قال أتى عُمَرُ بِنِكَاحٍ لم يَشْهَدْ عليه إلَّا رَجُلٌ وَامْرَأَةٌ فقال هذا نِكَاحُ السِّرِّ وَلَا أُجِيزُهُ وَلَوْ كُنْت تَقَدَّمْت فيه لَرَجَمْت
“Dari Malik dari Abi Zubair berkata bahwa suatu hari Umar dilapori tentang pernikahan yang tidak disaksikan, kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka beliau berkata: “Ini adalah nikah sirri, dan saya tidak membolehkannya, kalau saya mengetahuinya, niscaya akan saya rajam (pelakunya). “
Atsar di atas dikuatkan dengan hadist Abu Hurairah ra:
أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن نكاح السر
“Bahwa nabi Muhammad saw melarang nikah siri. [1]
Pengertian Kedua:
Nikah Siri adalah pernikahan yang dihadiri oleh wali dan dua orang saksi, tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh mengumumkannya kepada khayalak ramai. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum nikah seperti ini:
Pendapat pertama: menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya sah tapi makruh. Ini pendapat mayoritas ulama, di antaranya adalah Umar bin Khattab, Urwah, Sya’bi, Nafi’,  Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Ahmad[2].  Dalilnya adalah hadist Aisyah ra, bahwa  Rasulullah saw bersabda         
لانِكاحَ إلا بوَلِيّ وشاهِدَيّ عَدْل
“Tidak sah suatu pernikahan, kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil”[3]
Hadits di atas menunjukkan bahwa suatu pernikahan jika telah dihadiri wali dan dua orang saksi dianggap  sah, tanpa perlu lagi diumumkan kepada khayalak ramai.
Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa pernikahan adalah sebuah akad mu’awadhah (akad timbal balik yang saling menguntungkan), maka tidak ada syarat untuk diumumkan, sebagaimana akad jual beli.
Begitu juga pengumuman pernikahan yang disertai dengan tabuhan rebana  biasanya dilakukan setelah selesai akad, sehingga tidak mungkin dimasukkan dalam syarat-syarat pernikahan. Adapun perintah untuk mengumumkan yang terdapat di dalam beberapa hadist menunjukkan anjuran dan bukan suatu kewajiban.
Pendapat Kedua: menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya tidak sah. Pendapat ini dipegang oleh Malikiyah dan sebagian dari ulama madzhab Hanabilah.[4]Bahkan ulama Malikiyah mengharuskan suaminya untuk segera menceraikan istrinya, atau membatalkan pernikahan tersebut, bahkan mereka menyatakan wajib ditegakkan had kepada kedua mempelai jika mereka terbukti sudah melakukan hubungan seksual. Begitu juga kedua saksi wajib diberikan sangsi jika memang sengaja untuk merahasiakan pernikahan kedua mempelai tersebut[5]. Mereka berdalil dengan apa yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Hatib al Jumahi, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
فَصْل بَيْنَ الحلالِ والحرامِ الدفُّ والصوت“Pembeda antara  yang halal  (pernikahan) dan yang haram  (perzinaan) adalah gendang rebana dan suara.“ (HR an Nasai dan al Hakim dan beliau mensahihkannya serta dihasankan yang lain).
Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
أعلنوا النكاح، واجعلوه في المساجد، واضرِبُوا عليه بالدُّفِّ

“ Umumkanlah nikah, adakanlah di masjid, dan pukullah rebana untuk mengumumkannya." ( HR Tirmidzi, Ibnu Majah ) Imam Tirmidzi  berkata: Ini merupakan hadits gharib hasan pada bab ini.

Pengertian Ketiga: Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya ijab qabul, hanya saja pernikahan ini  tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan Negara, dalam hal ini adalah KUA.
pernikahan seperti ini yang dinyatakan dalam Undang-undang sebagai nikah di bawah tangan atau nikah yang tidak tercatat.
Dalam undang-undang disebutkan bahwa :
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri denan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[6]
“Dalam Negara Indonesia tidak berlaku hukum tertulis dari hukum Negara saja, tetapi juga berlaku hukum tidak tertulis atau yang lebih dikenal dengan norma/kaidah hukum kebiasaan, misalnya norma adapt, norma susila dan norma agama”.[7]
Fakta-fakta tersebut dimuka, masih terdapat berbagai norma dibidang agama yang mengatur semua aktivitas kehidupan beragama seseorang, bagaimana tatacara beribadah, berperilaku, termasuk tata cara berkeluarga dalam hukum perkawinan. Setiap agama mempunyai tujuan perkawinan yang sama untuk membentuk keluarga yang bahagia sejahtera dan meneruskan keturunan, hanya saja tata cara pelaksanaan perkawinannya yang berbeda.
Menurut Hukum Islam :
“Rukun dan syarat perkawinan itu terdiri atas lima hal yang harus dipenuhi tentang ada Wali, ada ridla atau kesukaan dari pihak calon istri, ada dua orang saksi yang adil, ada ijab dan Kabul, dan ada mahar yang berupa maskawin, sehingga menurut hukum Islam pernikahan yang memenuhi syarat-syarat tersebut diatas sudah sah menurut agama”.[8]
Meskipun secara agama atau adat istiadat dianggap sah, namun dapat merupakan delik  pelanggaran yaitu perkawinan yang dilakukan tanpa izin istri pertama dan diluar pengetahun pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah dimata hukum Negara atau tidak pernah ada perkawinan tersebut, hal ini diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.[9]
Didalam kenyataan, masyarakat Indonesia banyak melakukan perkawinan hanya dilakukan secara agama, tetapi tidak didaftarkan di Pegawai Pencatat Nikah sesuai dengan hukum Negara, perbuatan perkawinan tersebut tidak sah status hukum oleh hukum Negara, serta membawa dampak hukum terhadap  istri dan anak yang kemudian lahir dari perkawinan. Dampak dari perkawinan yang tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah terhadap anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut sebagai anak luar kawin dan juga menyangkut hak atas warisan dari anak tersebut.
Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) mengatur tentang bagian waris dari anak luar kawin, tetapi dengan berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maka ketentuan Hukum Perkawinan dianggap tidak berlaku lagi sepanjang telah diatur dalam UU perkawinan tersebut. Sedangkan anak luar kawin hanya diatur dalam Pasal 43 UU Perkawinan yang menyatakan “ayat (1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Ayat (2) menyebutkan Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah”.
Peraturan perundang-undangan memberikan opsi hukum bagi perkawinan yang tidak tercatat di KUA untuk mendapatkan pengakuan hukum melalui jalur pengesahan perkawinan melalui putusan Pengadilan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Pasal 7 yaitu :
(1)     Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2)     Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akata Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3)     Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
(a)     Adanya perkawinan dalam rabgka penyelesaian perceraian;
(b)     Hilangnya Akta Nikah;
(c)     Adanya keragan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawian;
(d)     Adanyan perkawinan yang terjadisebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;
(e)     Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974;
(4)     Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
        Akan tetapi bagi seseorang yang mengajukan isbat nikah atas perkawinannya dengan istri kedua (poligami), tetap berlaku ketentuan poligami sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
Pasal 4  
(1).       Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2).       Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
            a.         isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
            b.         isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
            c.         isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

                                                                   Pasal 5
(1).       Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
            a.         adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
            b.         adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
            c.         adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2).       Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

Kompilasi Hukum Islam
Pasal 55
(1)        Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.
(2)        Syarat utaama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap ister-isteri dan anak-anaknya.
(3)        Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang.
Pasal 56
(1)        Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
(2)        Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975.
(3)        Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari
seorang apabila :
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58
(1)        Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu :
a.   adanya pesetujuan isteri;
b.   adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister-isteri dan anak-anak mereka.
(2)        Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau denganlisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.
(3)        Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinyasekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.
Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salh satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tenyang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.

B. Hak Mawaris atas Anak dari Perkawinan Siri

Sebagaimana kita mengetahui bahwa sebab-sebab saling mewarisi dalam Islam terjadi karena tiga hal [10]:
1.      Hubungan kekerabatan
2.      Pernikahan
3.      Memerdekakan hamba sahaya

Dengan adanya perkawinan, maka seorang istri mendapatkan hak waris dari suaminya dan sebaliknya. Begitupun dengan hasil perkawinan, terlahirlah anak, dan karena hubungan darah anak memiliki hak waris dari orang tuanya.
Berkaitan dengan hal tersebut seorang anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan siri, manakala permohonan isbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama telah memenuhi syarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan Majelis hakim mengabulkan permohonan tersebut, maka ketika perkawinan tersebut ditetapkan dan dinyatakan sah oleh putusan hakim, secara otomatis anak yang dilahirkan dari perkawinannyapun memiliki status dimata hukum sebagai anak yang sah dengan segala hak hukum yang melekat padanya salah satunya adalah hak saling mewarisi.
Akan tetapi manakala permohonan isbat nikah itu ditolak baik karena alasan bahwa ternyata dalam proses pemeriksaan persidangan pernikahan tersebut adalah pernikahan atas seorang laki-laki dengan seorang perempuan dimana laki-laki tersebut masih dalam suatu ikatan pernikahan dengan wanita  lain (poligami) sedangkan alasan dan prosedur poligami tidak dapat dipenuhi sehingga karenanya hakim menolak permohonan tersebut, maka tentu saja secara legal formal perkawinan itu dianggap tidak ada.
Bilamana tidak terjadi perkawinan, maka tentu saja keberadaan anakpun menjadi tidak diakui. Sehingga anak yang terlahir dari perkawinan siri yang ditolak oleh pengadilan dikategorikan sebagai anak diluar perkawinan.[11]
Anak diluar nikah tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, ia hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya saja, begitupun halnya dengan hak mewarisi menjadi terhalang terhadap ayahnya karena perkawinannya tidak diakui oleh Pengadilan Agama.
Dalam kitab fikih para ulama telah bersepakat bahwa hal yang menyebabkan seseorang terhalang untuk saling mewarisi, yaitu[12] :
1.      hamba sahaya
2.      Pembunuhan[13]
3.      Perbedaan agama. [14]

Dalam Kompilasi Hukum Islam terhalanya hak waris diatur dalam Pasal 173 yang berbunyi :
Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
a.      Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris;
b.      Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

Dalam kenyataan di masyarakat, masih terdapat standar ganda hukum perkawinan. Masyarakat masih meyakini bahwa perkawinan itu sah manakala sesuai dengan fiqih yang mereka anut. Pencatatan pernikahan merupakan bagian dari kesempurnaan untuk tertib adminsitrasi. Bahkan hal inipun dilindungi oleh undang-undang ketika dalam Pasal 2 ayat 1 mengatakan sahnya perkawinan bukan karena “dicatat”, tapi didasarkan atas agama dan kepercaan masing-masing”.
Meskipun demikian perkawinan siri hanya dikatakan sah oleh hukum manakala telah ditetapkan dalam suatu putusan pengadilan.
Dalam kaitannya dengan praktek poligami yang terjadi dimasyarakat, pada umumnya poligami dilaksanakan melalui pernikahan siri. Hal dilaksanakan karena dengan nikah siri poligami mudah untuk dilakukan dan tetap dianggap sah menurut fiqh. Berbeda ketika poligami hendak dilaksanakan dengan mengikuti prosedur hukum. Syarat dan prosedurnya dianggap sangat berat. Sehingga membuat laki-laki enggan untuk mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama.
Salah satu celah yang dapat dilakukan adalah mengajukan permohonan isbat nikah dengan menyembunyikan keberadaan istri pertama. Hal ini terkadang berjalan mulus dan tidak terbongkar di dalam persidangan, akan tetapi tidak sedikit pula terbongkar dalam persidangan, sehingga pengajuannya ditolak majelis hakim. Terdapat pula kasus pengajuan penetapan ahli waris dengan mengakumulasikan permohonan isbat nikah.
Dalam kaitan dengan penolakan oleh Majelis Hakim, maka secara otomatis hak waris anaknya terhadap ayah menjadi tidak ada, karena pernikahannya dianggap tidak pernah terjadi, dan anak dianggap sebagai anak diluar nikah yang memiliki hubungan dengan ibu saja.
Hal ini sesuai metode ushul fqih istishhab, dimana hukum tetap selama tidak ada keadaan yang merubahnya. Artinya seseorang tetap berada dalam perkawinan selama ia belum bercerai, atau seseorang tetap berstatus perawan selama belum ada pernikahan. Begitupun dengan ada atau tidaknya anak. Selama tidak ada nikah maka tidak ada anak, karena adanya anak dihasilkan dari suatu pernikahan.
Dalam kaidah fiqh disebutkan
الاصل بقاء ماكان على ماكان

“Hukum asal adalah tetapnya apa yang telah ada atas apa yang telah ada”[15].

Dalam kaidah lain disebutkan :

الاصل فى الامر تقديره بأقرب الزمان
“Asal dari setiap kasus mengenai perkiraan waktu adalah dilihat dari yang terdekat waktunya”[16].
Dari kaidah ini, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa menetapkan suatu hukum dilihat dari keadaan semula, bila keadaan semula dinyatakan tidak ada pernikahan maka tidak ada anak yang dilahirkan, akan tetapi bila ditetapkan ada pernikahan maka boleh jadi adapula anak.

Dengan demikian dari analisa diatas, bahwa ternyata putusan hakim (qodlo al qodhi), dapat menberikan dampak dan menjadi suatu sandaran hukum seseorang untuk mendapatkan hak waris atau tidak.
Adanya putusan hakim yang menolak permohonan isbat dapat menjadi larangan adanya hak waris, begitupun dengan diterimanya permohonan isbat nikah maka larangan pun menjadi tidak ada atau kembali kepada hukum semula;
Dalam kaidah fiqih disebutkan
اذازال المانع عاد الممنوع

“Apabila hilang yang menghalangi (melarang), maka kembalilah yang dilarang itu”.[17]

Dari uraian diatas dapat ditarik suatu teori bahwa salah satu dari penghalang hak mawaris adalah dengan adanya putusan hakim.
Hal ini dipetakan kepada dua pemikiran :
1.      Bahwa meskipun dalam fakta sosial seseorang mengaku merupakan anak sah dari hasil pernikahan yang sah menurut fiqh, akan tetapi apabila putusan hakim menyatakan tidak sah demi hukum, maka putusannya menjadi satu-satunya hukum.
kaidah fiqh mengatakan :
حكم الحاكم يرفع الخلاف

“Hukum dari hakim menghilangkan perbedaan pendapat”.
1.      Bahwa yang menjadikan seseorang terhalang hak warisnya bukan karena pertimbangan hukum dari putusan apakah ia terhalang karena salah satu syarat tercegahnya waris (membunuh, pembebasan hamba sahaya atau perbedaan agama) dan atau karena memenuhi pasal 173 KHI, akan tetapi seseorang menjadi terhalang karena ada amar putusan yang menyatakan terhalang dan tidak mendapat hak waris, apakah karena alasan diatas, atau bisa saja karena pernikahan orang tuanya tidak disahkan oleh putusan hakim.

C. Kesimpulan
Anak yang dilahirkan dari pernikahan siri memiliki dua kemungkinan dalam hak mawarisnya. Apabila pernikahannya disahkan dan ditetapkan oleh putusan hakim maka secara otomatis anak akan memiliki hak waris terhadap ayah dan ibunya. Akan tetapi bila putusan hakim menolak pengesahan pernikahannya, maka tertolak pula hak waris dari anak tersebut atas ayah . Putusan hakim ini menjadi sebab terlarangnya anak mendapat hak waris.
Putusan hakim pada intinya terletak pada amar putusannya, sehingga apapun pertimbangan hukumnya, amarnya yang bersifat condemnatur telah memiliki dampak atas status hukum seseorang.
Putusan hakim yang menyatakan seseorang menjadi terlarang untuk mendapatkan hak waris tidak terpaku pada kasus penolakan permohonan nikah siri, atau karen pembunuhan, memerdekakan hamba sahaya atau perbedaan agama, atau pula karena terpenuhinya Pasal 173 KHI, akan tetapi ia dapat pula meluas kepada sebab-sebab lain yang menurut hakim dengan metode penemuan hukum (rechtvinding) dipandang menjadi penghalang seseorang mendapat hak waris.
Sebab-sebab terhalangnya waris terdiri dari 4 hal :
-         Karena Pembunuhan
-         Hamba sahaya
-         Perbedaan Agama
-         Putusan hakim.


[1]       HR at Tabrani di dalam al Ausath dari Muhammad bin Abdus Shomad bin Abu al Jirah yang belum pernah disinggung oleh para ulama, adapun rawi-raiwi lainnya semuanya tsiqat (terpecaya)., Ibnu Haitami, Majma’ az-Zawaid wal Manbau al Fawaid (4/62) hadist  8057).
[2]       Ibnu Qudamah, al Mughni, Beirut, Daar al Kitab al Arabi,  : 7/ 434-435
[3]       HR Daruqutni dan al Baihaqi. Hadits ini disahihkan oleh Ibnu Hazm di dalam (al-Muhalla : 9/465).
[4]      Ibnu Qudamah, al Mughni : 7/ 435, Syekh al Utsaimin, asy-Syarh al-Mumti’ ’ala Zaad al Mustamti’, Dar Ibnu al Jauzi , 1428, cet. Pertama : 12/ 95
[5]      Al Qarrafi, Ad Dzakhirahtahqiq : DR. Muhammad al Hajji,  Beirut, Dar al Gharb al Islami, 1994, cet : pertama : 4/ 401
[6]       Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Jakarta : (Akola;1998), hal 2.
[7]       M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : (Ind-Hillco: 1986), hal 54.
[8]       R. Soetoyo Prawiromidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan Indonesia, Surabaya : (Airlangga University Press, 1994), hal 30.
[9]       Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Bandung (Fokus Media: 2005), hal 2. Pasal 2 yang berbunyi : ayat (1) Perkawinan ialah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ayat (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perkawinan yang berlaku”.

[10] Wahbah al Juhaili, Al Fiqhul Islam wa Adiltuhu, jilid VII, Dar al Fikr, tt, hal 249.
[11]     Lihat pasal diatas tentang kedudukan anak diluar nikah.
[12]     Lihat Wahbah al Juhaili, al Fiqh al Isla wa adilatuh, jilid VIII, hal  255.

[13]    Hadits nabi :

“Tidak ada hak waris bagi yang membunuh”. HR Abu Dawud dari Ummu Salamah.

[14]    Hadits nabi :

“Tidak dapat saling mewarisi muslim terhadap kafir, dan tidak pula kadir kepada muslim”. HR. Jama’ah kecuali an Nasai dari Usamah Bin Zaid.

[15]     Jalaludin Abdurahman as Suyuti, al Asyba wa al nadzhoir, Indonesia. (Syirkah Nur Asia; tt), hal 33.
[16]     Op.Cit., hal 43
[17]     Sebagaimana dikutip oleh Drs. Asjmuni A Rahman, Metode Penetapan Hukum Islam. Jakarta (Bulan Bintang; 2005), hal 48. 


Tiada ulasan:

Catat Ulasan